oleh Karina Retnyssa Harviany Gunawan
Sumber foto: https://unsplash.com/photos/RjZjYwimO6Y
Tren makanan hewan kesayangan selalu berubah dari masa ke masa. Saat ini popularitas raw food, atau makanan berbahan protein hewani tanpa proses pemasakan atau pasteurisasi, kian meroket dengan hadirnya berbagai produk raw food komersil dan resep rumahan berbahan mentah. Pet parents yang menggunakan diet ini umumnya berbekal alasan bahwa kucing dan anjing merupakan karnivora sejati yang tidak membutuhkan bahan nabati, mempercayai bahwa raw food dapat membuat rambut lebih berkilau dan gigi lebih bersih sehingga meningkatkan kesehatan hewan, serta menghindari pakan komersil karena komposisi yang terkandung dinilai tidak alami. Namun, apakah pernyataan-pernyataan ini didukung bukti ilmiah?
“Leluhur anjing dan kucing di alam cuma makan daging mentah, tuh! Justru, gak ada yang makan dari sumber nabati”
Domestikasi
anjing dari serigala telah berlangsung dari generasi ke generasi, proses panjang
ini menyebabkan perubahan genetik yang membedakan keduanya secara signifikan
kedalam dua spesies yang berbeda. Diantara banyak hal, salah satu perbedaan menciri
diantara keduanya ialah kemampuan anjing untuk mencerna dan memanfaatkan pati
sebagai sumber energi. Menurut Morris dkk (1977), total kecernaan pati pada
kucing berkisar antara 40-100%, fakta ini membuktikan bahwa kucing dapat
mencerna serat terlarut ini. Berbicara tentang serat, serat tidak terlarut
seperti selulosa, hemiselulosa, dan lignin juga memiliki manfaat tidak
tergantikan dalam mengatur motilitas usus dan konsistensi tinja. Tahukah anda
bahwa serat tidak terlarut membantu kucing untuk melancarkan pengeluaran hairball melalui kotoran? Ini merupakan
salah satu alasan mengapa kita sering menemukan kucing yang mengunyah tanaman!
“Makan
raw food bisa bikin rambut kucing jadi lebih berkilau dan gigi anjing lebih
bersih, loh!”
Hingga saat ini belum ada publikasi yang mendukung klaim kelebihan raw food dibandingkan pet food hewan pada umumnya. Aktivitas pengikisan kotoran gigi oleh tulang pada raw food dapat menjadi penjelasan atas klaim kebersihan gigi. Akan tetapi, pemberian tulang berisiko menyebabkan gigi patah serta menyumbat bahkan melubangi saluran cerna.
Faktanya, risiko raw food tidak berhenti sampai disini.
Ketidakseimbangan
nutrisi dan kontaminasi bakteri serta parasit penyebab penyakit menjadi risiko
utama yang merugikan bagi hewan kesayangan, pemilik, dan lingkungan.
Penelitian
oleh Stockman dkk (2013) menunjukan, sebanyak 95% resep home-prepared pet food memiliki setidaknya satu defisiensi nutrisi dan
85% lainnya memiliki lebih dari satu defisiensi. Artinya, hampir seluruh resep
rumahan yang dipublikasikan tidak memenuhi kebutuhan nutrisi esensial, terutama
kebutuhan vitamin dan mineral. Ketidakseimbangan nutrisi dalam jangka panjang
berpotensi menurunkan kondisi kesehatan anjing dan kucing. Tanpa dasar dan
kontrol kualitas yang jelas, raw food komersil
maupun home-prepared yang diberikan
dalam jangka panjang dikhawatirkan menyebabkan komplikasi kesehatan.
Kasus
rakitis akibat defisiensi vitamin D disertai hiperparatirodisme sekunder pada anjing
Shetland Sheepdog berumur 8 bulan pernah dilaporkan oleh Taylor dkk (2009).
Anjing ini memiliki riwayat konsumsi home-prepared
raw food dengan profil nutrisi yang tidak seimbang dan belum pernah diuji
sebelumya. Ketidakseimbangan pada pasien ini menyebabkan malnutrisi dan abnormalitas
berat pada tulang, saraf, dan metabolisme.
Sejumlah
45% pet parents pengguna raw food melaporkan adanya gangguan
pencernaan seperti diare dan muntah. Gangguan kesehatan dapat terjadi akibat
infeksi bakteri patogen yang mengkontaminasi bahan baku raw food yaitu daging mentah. Tidak hanya berisiko tinggi menyebabkan
penyakit pada hewan, Salmonella, E. coli,
Clostridium, dan Campylobacter merupakan
bakteri zoonosis atau dapat menginfeksi manusia. Suatu penelitian di Kanada
mengungkap sebanyak 21% sampel raw food terkontaminasi
bakteri Salmonella. Pemilik dapat terinfeksi melalui kontak langsung dengan raw food, kotoran hewan, bahkan saat
berinteraksi dengan peliharaannya. Kucing
dan anjing yang mengkonsumsi daging mentah akan lebih rentan terhadap infeksi bakteri
resisten antibiotik. Selain berisiko besar bagi kesehatan hewan karena infeksi
lebih sulit untuk ditangani, kondisi ini merupakan ancaman bagi kesehatan publik
karena berpotensi menyebarluaskan resistensi antimikroba ke lingkungan.
Raw food juga berisiko terkontaminasi
parasit seperti Toxoplasma gondii.
Walaupun tidak menyebabkan gangguan yang mematikan pada kucing, kucing yang
terinfeksi dapat menyebarkan parasit ke lingkungan sehingga menempatkan pemilik
dan hewan yang tinggal di lingkungan yang sama dalam risiko tinggi. Toxoplasmosis pada manusia utamanya
sangat berbahaya bagi orang dengan gangguan sistem imun dan ibu hamil. Bila
menginfeksi janin, Toxoplasmosis dapat
menyebabkan keterbelakangan mental, kebutaan, hingga kematian.
Menurut
pendukung tren makanan ini, anjing memiliki ketahanan yang baik terhadap
bakteri sehingga tidak perlu dilakukan pematangan. Proses pematangan penting
dilakukan untuk membunuh mikrooganisme patogen pada bahan makanan. Tidak semua
kasus Salmonellosis atau penyakit
akibat infeksi bakteri Salmonella
pada anjing mengakibatkan gejala klinis seperti diare. Akan tetapi, anjing yang
terinfeksi Salmonella dari raw food tetap dapat menyebarkan bakteri
kepada pemilik dan lingkungan melalui air liur dan kotoran. Sehingga, walaupun
anjing terlihat sehat, tetap ada risiko kesehatan bagi pemilik.
Kelebihan
raw food, baik komersil maupun dibuat
langsung oleh pemilik, masih perlu dikaji secara ilmiah. Pada akhirnya, informasi
saat ini membuktikan, pemberian raw food
sebagai pengganti pet food kering
ataupun basah lebih berisiko daripada bermanfaat. Pemilihan makanan yang berpotensi
mengganggu kesehatan dan keselamatan hewan, manusia, serta lingkungan sebaiknya
dihindari. Konsultasikan program dan produk pakan hewan yang tepat dengan
dokter hewanmu!
Daftar
Pustaka
Freeman, L. M., Chandler, M. L., Hamper, B. A.,
& Weeth, L. P. (2013). Current knowledge about the risks and benefits of
raw meat–based diets for dogs and cats. Journal of the American
Veterinary Medical Association, 243(11), 1549-1558.
Morelli, G., Bastianello, S., Catellani, P., &
Ricci, R. (2019). Raw meat-based diets for dogs: survey of owners’ motivations,
attitudes and practices. BMC veterinary research, 15(1),
74.
Stockman, J., Fascetti, A. J., Kass, P. H., &
Larsen, J. A. (2013). Evaluation of recipes of home-prepared maintenance diets
for dogs. Journal of the American Veterinary Medical Association, 242(11),
1500-1505.
Taylor, M. B., Geiger, D. A., Saker, K. E., &
Larson, M. M. (2009). Diffuse osteopenia and myelopathy in a puppy fed a diet
composed of an organic premix and raw ground beef. Journal of the American
Veterinary Medical Association, 234(8), 1041-1048.
Verbrugghe, A., & Hesta, M. (2017). Cats and
carbohydrates: the carnivore fantasy?. Veterinary sciences, 4(4), 55.
van Bree, F. P., Bokken, G. C., Mineur, R.,
Franssen, F., Opsteegh, M., van der Giessen, J. W., ... & Overgaauw, P. A.
(2018). Zoonotic bacteria and parasites found in raw meat-based diets for cats
and dogs. Veterinary Record, 182(2), 50-50.
0 Comments