Penulis : Cinta Sabrina Pratiwi
(Sumber: https://s3.amazonaws.com/businessinsider.mx/wp-content/uploads/2022/06/30182705/Gatos.jpg)
Kucing merupakan salah satu hewan kesayangan yang perlu mendapat perhatian untuk dipelihara dan dikembangbiakkan dengan berbagai tujuan dan dapat memberikan kebahagiaan tersendiri bagi manusia. Munculnya penyakit bermula dari lingkungan yang kurang bersih ataupun pemeliharaan yang kurang baik sehingga kucing bisa terkena penyakit ataupun bisa yang menyebarkan penyakit ke kucing bahkan manusia salah satunya adalah toxoplasmosis.
APA ITU TOXOPLASMOSIS
Toxoplasmosis merupakan salah satu penyakit yang disebabkan oleh parasit protozoa Toxoplasma gondii (T. gondii). Kucing merupakan inang definitif dari protozoa T. gondii dan dapat menularkan toxoplasmosis ke manusia, sehingga toxoplasmosis termasuk dalam penyakit zoonosis. Kejadian toxoplasmosis pada manusia dianggap berbahaya (khususnya pada ibu hamil), karena seringkali tidak menunjukkan gejala klinis (asimtomatis) dengan prevalensi mencapai 70% (Rusjdi, 2020).
Toxoplasmosis merupakan salah satu penyakit yang disebabkan oleh parasit protozoa Toxoplama gondii (T. gondii). Berikut ini merupakan klasifikasi protozoa T. gondii, yaitu kingdom: protista, subkingdom: protozoa, filum: apicomplexa, kelas: sporozoasida, ordo: euccidiorida, famili: sarcolytidae, genus: Toxoplasma, spesies: Toxoplasma gondii (Dubey, 2020).
RUTE TERTULAR TOXOPLASMOSIS
(Sumber: https://ldbiodiagnostics.com/wp-content/uploads/2020/09/LDBIO_Contexte-clinique_TOXOPLASMOSE_EN.jpg)
Toxoplasma gondii biasanya dapat ditemukan pada feses kucing, sayuran mentah, daging mentah, rumput-rumputan, dan tanah. Kucing dapat terinfeksi parasit ini ketika memakan sesuatu yang terkontaminasi oosista T. gondii. Selain itu, kucing juga dapat terinfeksi parasit ini ketika memakan inang perantara (seperti rodensia) atau jaringan (seperti daging) yang mengandung sista T. gondii (Dubey, 2020).
Kucing yang suka berburu tikus merupakan faktor risiko lainnya dengan mekanisme langsung karena makan hewan pemangsa yang terinfeksi akan menyebabkan infeksi oleh T. gondii. Hal ini juga merupakan salah satu faktor risiko yang paling besar karena banyak kucing berburu (34,7%). Namun demikian, mencegah kucing dari berburu mungkin lebih sulit daripada melarang makan daging mentah. Sebanyak 93% dari kucing menunjukkan perilaku berburu karena memiliki akses yang luas dan terbuka. Tindakan yang memungkinkan dapat mengurangi perilaku berburu termasuk melengkapi kucing dengan bel, menjaga kucing dalam ruangan di malam dan termasuk memberikan daging mentah dalam makanan. Meskipun hal tersebut dapat menurunkan perilaku berburu, kucing bisa menelan sista T. gondii di dalam daging. Pembekuan daging pada suhu -2° C selama dua hari efektif membunuh sista jaringan T. gondii yang dapat hadir dalam daging.
Manusia dapat terinfeksi toxoplasmosis ketika memakan sesuatu yang terkontaminasi oosista atau sista jaringan T. gondii. Infeksi toxoplasmosis di dalam tubuh manusia berlangsung di ekstraintestinal secara aseksual (Subekti dan Arrasyid, 2006). Di dalam saluran cerna, oosista atau sista jaringan T. gondii akan pecah dan mengeluarkan sporozoit. Sporozoit akan masuk dan berproliferasi di dalam enterosit (sel usus) (Cesbron-Delauw et al., 2008). Selanjutnya sporozoit akan berkembang menjadi takizoit yang memiliki kemampuan replikasi dengan cepat. Jika takizoit sudah berada di dalam enterosit dalam jumlah banyak, membran sel usus akan pecah dan menyebabkan takizoit keluar serta menginfeksi jaringan berinti lainnya. Lalu takizoit akan menyebar ke seluruh jaringan berinti di dalam tubuh, khususnya pada jaringan otak dan otot (Pittman dan Knoll, 2015).
SIKLUS HIDUP TOXOPLASMOSIS
(Sumber: https://vcahospitals.com/-/media/vca/images/lifelearn-images-foldered/377/toxoplasma_lifecycle_cat_2020-01.jpg?la=en&hash=E9C1100AF3CE9B2FC96F567FBC948D31)
Secara umum, siklus hidup T. gondii terjadi secara seksual (melalui proses fertilisasi) dan aseksual (melalui pembelahan vegetatif). Pada kucing, siklus hidup parasit ini terjadi secara seksual (gametogoni) dan aseksual (skizogoni) di intraepitelial (di dalam sel epitel usus) maupun ekstraintestinal (di luar usus). Sedangkan siklus hidup T. gondii pada inang perantara (seperti rodensia, unggas, ternak, serangga, dan sebagainya) hanya terjadi secara aseksual intraepitelial maupun ekstraintestinal (Subekti dan Arrasyid, 2006).
Di dalam sel epitel usus (intraepitelial) :
- T. gondii mengalami reproduksi secara aseksual dan seksual. Pada tahapan reproduksi aseksual, diawali dengan sporozoit atau bradizoit yang membentuk skizon I dalam kurun waktu 12 jam setelah infeksi dan berkembang menghasilkan 2-3 merozoit (Eamsobhana, 2004).
- Selanjutnya merozoit akan keluar dari sel epitel usus lama dan menginfeksi sel epitel yang baru, serta membentuk skizon II yang terdapat 2-30 merozoit dalam kurun waktu 24-54 jam setelah infeksi. Merozoit akan terus berkembang sampai membentuk skizon IIIV (Subekti dan Arrasyid, 2006).
- Kemudian skizon IV dan V memulai tahapan reproduksi secara seksual, merozoit membentuk mikrogamet dan makrogamet. Mikrogamet bergerak menggunakan flagelanya menuju makrogamet dan melakukan fertilisasi membentuk zigot yang selanjutnya akan membentuk oosista tidak infeksius ketika dikeluarkan melalui kotoran kucing (Hartmann et al., 2013; Subekti dan Arrasyid, 2006)
Setelah berada di lingkungan selama 1-5 hari, oosista akan bersporulasi dan mengandung 2 sporosista yang di dalamnya masing-masing terdapat 4 sporozoit (Eamsobhana, 2004; Hartmann et al., 2013). Seekor kucing yang terinfeksi T. gondii dapat mengeluarkan oosista sebanyak 10 juta dalam sehari selama 2 pekan. Seekor kucing juga dapat mengeluarkan 360 juta oosista dalam 1 hari. Periode masuknya oosista menuju ke dalam tubuh kucing sampai terbentuk oosista kembali yaitu sekitar 20-40 hari (Nurcahyo dan Priyowidodo, 2019).
Oosista dapat bertahan hidup di lingkungan dalam waktu lebih dari setahun pada kondisi yang lembab. Menurut Nurcahyo dan Priyowidodo (2019), oosista dapat bersporulasi di lingkungan pada suhu 24°C selama 2-3 hari dan dapat bertahan pada suhu 37°C selama 306 hari. Sedangkan oosista yang belum bersporulasi dapat bertahan pada suhu 37- 50°C selama 24 jam. Selain itu, oosista T. gondii dapat bertahan selama 14-18 hari pada tingkat kelembaban sebesar 44-80% dan bersporulasi selama 28 hari pada suhu -4°C (Dubey, 2020).
Siklus hidup T. gondii pada ekstraintestinal (di luar usus) terjadi ketika sporozoit atau bradizoit yang masuk ke dalam usus halus dan menuju ke pembuluh darah atau limfe menuju ke jaringan yang berinti (Subekti dan Arrasyid, 2006) seperti paru-paru, hati, otot, dan sebagainya. Selanjutnya sporozoit akan berkembang menjadi takizoit dalam kurun waktu 24 jam setelah infeksi. Periode prepaten pada kucing yang menelan takizoit pada tubuh inang perantara yaitu 13 hari atau lebih (Subekti dan Arrasyid, 2006). Takizoit akan membelah diri secara endodiogoni dan menghancurkan sel yang ditempati dan menginfeksi jaringan di sekitarnya. Lalu takizoit akan berkembang menjadi bradizoit dalam kondisi laten dan membentuk sista jaringan. Pada kucing maupun inang perantara, sista jaringan mulai terbentuk setelah 10 hari infeksi (Hartmann et al., 2013; Subekti dan Arrasyid, 2006).
GEJALA TOXOPLASMOSIS
Menurut Hartmann et al. (2013), kucing yang terinfeksi parasit ini tidak menunjukkan gejala klinis spesifik, seperti adanya kondisi diare jika saluran digesti kucing mengandung banyak oosista pada intraepitelial usus. Selain itu, jika infeksi toxoplasmosis terjadi pada ekstraintestinal (di luar saluran usus) akan menyebabkan gangguan atau kerusakan pada jaringan. Gejala klinis toxoplasmosis pada kucing yaitu demam, ikterus, anoreksia, penurunan berat badan, gangguan neurologis (kejang dan ataksia), gangguan respirasi seperti dispnea dan pnemonia, dan gangguan okular berupa uveitis (Dubey, 2020). Pada kucing, bentuk akut menimbulkan gejala demam yang tinggi, anoreksia, dispnue, anemia, diare dan kadang-kadang dapat berakhir dengan kematian, sedangkan pada bentuk kronis, gejalanya berupa anoreksia, anemia, abortus, kemandulan dan iritis.
PENCEGAHAN TOXOPLASMOSIS
Pencegahan yang dapat dilakukan pada kucing yang terinfeksi toxoplasmosis yaitu dengan mengurangi kejadian infeksi dan penyebaran oosista di lingkungan. Kucing harus diberikan pakan yang matang sempurna (minimal dimasak pada suhu 65°C) karena oosista dapat mati pada suhu 66°C dalam 15 menit (Nurcahyo dan Priyowidodo, 2019). Selain itu, kucing sebaiknya tidak diliarkan di luar rumah, karena berpotensi terkontaminasi pakan yang mengandung oosista T. gondii yang ada di lingkungan atau dapat memakan inang perantara yang mengandung sista jaringan T. gondii, salah satunya pada tikus (Dubey, 2020).
Tikus sebagai inang perantara dapat terinfeksi T. gondii ketika mengonsumsi makanan yang terkontaminasi oosista, lalu parasit ini akan menetap di otak tikus. Ketika tikus yang terinfeksi T. gondii termakan oleh kucing, maka parasit ini akan bersiklus kembali di dalam tubuh kucing. Secara alamiah tikus takut terhadap kucing, namun ketika tikus terinfeksi T. gondii pada otak, maka tikus akan mengalami perubahan perilaku menjadi lebih berani pada kucing dan fenomena tersebut dikenal sebagai zombie/monster rat.
Selain itu lingkungan sekitar harus dipastikan bersih, rutin dilakukan desinfeksi, serta mencegah masuknya inang perantara, seperti tikus, maupun serangga (Hartmann et al., 2013). Nurcahyo dan Priyowidodo (2019) menyebutkan bahwa infeksi T. gondii dapat disebarkan melalui gigitan serangga dan menelan cacing yang membawa oosista T. gondii. Lalat dan moluska juga diduga dapat berperan sebagai vektor oosista yang berasal dari feses kucing. Oosista T. gondii resisten terhadap beberapa desinfektan, namun oosista tersebut dapat inaktif jika diberikan iodin 1%, formalin 0,3%, dan ammonia 1% (Dubey, 2020). Sedangkan takizoit dan sista peka terhadap beberapa desinfektan, seperti sodium hipoklorit 1% dan ethanol 70% (Balcha et al., 2020).
REFERENSI :
Balcha, Tessema, M., Aga, B. I., Disasa, D. D. dan Berhanu, G. (2020). Public health and economic significance of toxoplasmosis. Am-Euras J Sci Res. 15: 112–121.
Cesbron-Delauw, Marie-France, Gendrin, C., Travier, L., Ruffiot, P. dan Mercier, C. (2008). Apicomplexa in mammalian cells: Trafficking to the parasitophorous vacuole. Traffic, 9: 657–664.
Dubey, J. P. (2020). The history and life cycle of Toxoplasma gondii. Dalam: Toxoplasma gondii. 3rd ed. Amsterdam (Belanda), Elsevier.
Eamsobhana, P. (2004). Aquatic stages of parasitic protozoa. Freshwater Invertebrates of the Malaysian Region.
Hartmann, K., Addie, D., Belák, S., Boucraut-Baralon, C., Egberink, H., Frymus, T., Gruffydd-Jones. T., Hosie, M. J., Lloret, A. dan Lutz, H. (2013). Toxoplasma gondii infection in cats: ABCD guidelines on prevention and management. J Feline Med Surg. 15: 631–637.
Nurcahyo, W. dan Priyowidodo, D. (2019). Toxoplasmosis pada hewan. Vol VIII. Yogyakarta (Indonesia): Samudra Biru.
Pittman, K. J. dan Knoll, L. J. (2015). Long-term relationships: the complicated interplay between he ost and the developmental stages of Toxoplasma gondii during acute and chronic infections. Microbiol Mol Biol Rev, 79: 387–401.
Rusjdi dan Renita, S. (2020). Respon imun terhadap infeksi Toxoplasma gondii. Jurnal Kesehatan Andalas, 9:100–107.
Subekti, D. T. dan Arrasyid, N. K. (2006). Immunopathogenecity of different types of Toxoplasma gondii. Indones Bul Anim Vet Sci, 16: 128–145.
0 Comments